Jumat, 28 Oktober 2016

Kisah Tentang Kekuasaan Tertinggi, Bagian Ketiga: Gadis Berkacamata di Cafe Biru bagian kedua

Aysha...

Nama yang tak pernah kudengar sebelumnya...

Ku lihat dari kejauhan ia masih menatap nanar secangkir yang ku tak tahu itu berisi apa...ya, lagi lagi ribuan pertanyaan mengahampiri relung psikedelia-ku yang sedari dulu sudah hampir mati.

Haruskah aku terus terjebak dialog dengan diriku sendiri seperti ini?

Haruskah aku terus hanya membayangkan "Aysha" dari jauh, tanpa mengetahui apa dia sebenarnya? atau siapa dia sebenarnya? apakah dia sama seperti Kau yang telah meninggalkan diriku karena NYA beberapa waktu lalu?

Lagi-lagi dialog psikedelia ini membirukan relung jiwa ku, aaaah.....mungkin kali ini harus... ah sudah lah....

Kalut pula lah yang memberanikan diriku menghampirinya. Terkejut memang dirinya, saat aku datang dan duduk di depannya, tepat di depan matanya yang berbalut sebuah bingkai berlensa lumayan tebal. Namun, di balik lensa itu, aku dapat melihat sebuat mata yang menatapku amat sangat dalam, mata bulat yang dihiasi segurat lingkaran gelap di sekitarnya...

"Maaf, aku tiba-tiba menghampiri, aku..." seraya ku menyebutkan nama dan mengulurkan tangan kepadanya, sambil kulihat sebuat inisial di tas gitarnya "AA"...

Betapa terkejutnya aku, ketika ia meraih tanganku dan membalas perkenalan itu...iya pun menyebutkan namanya "Aysha, tapi kau boleh memanggilku Kya".

"Kya? nama yang begitu cerah untuk orang sendu sepertimu. Maaf bukan maksudku tapi, senang berkenalan dengan mu Kya"

Selama setelah perkenalan itu, kami menghabiskan sisa senja yang tersisa untuk berbicara... ya berbicara...
Ternyata pula, ia tak sesendu apa yang ku kira...iya layak nya sebuah "merry go round" ceria ketika kau mulai memasuki relung psikedelianya. Ia pula bercerita, bahwa ia memang suka menghabiskan senja, menikmati hujan, dan menghabiskan lebih dari dua cangkir espresso lalu pulang.

Ah, pulang...kembali aku teringat kata itu...aku juga harus pulang...tapi ku rasa jika aku pulang sekarang, semua akan berlalu begitu cepat...ah aku rasa DIA memaklumi ku untuk tidak pulang terburu-buru...

Tak terasa waktu senja sangat cepat berlalu, hitam pekat pun menunjukkan wujud sebenarnya...ia pun turun bersamaan dengan derasnya hujan malam ini, dan gadis berkacamata itu pun akhirnya harus berlalu. Ia merangkul tas gitar itu di pundaknya, pamit, lalu berlalu.....

Hanya meninggalkan sebuah catatan...ya lagi lagi sebuah catatan di kertas biru...

"besok di taman asa, jam 11 pagi, datanglah jika kau rasa percakapan kita patut untuk dilanjutkan"